“Aku
adalah putra seorang ibu Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idaju,
berasal dari kasta tinggi. Raja terakhir Singaraja adalah paman ibuku.
Bapakku dari Jawa. Nama lengkapnya adalah Raden Sukemi Sosrodihardjo.
Raden adalah gelar bangsawan yang berarti, Tuan. Bapak adalah keturunan
Sultan Kediri…
Apakah itu kebetulan atau suatu pertanda
bahwa aku dilahirkan dalam kelas yang memerintah, akan tetapi apa pun
kelahiranku atau suratan takdir, pengabdian bagi kemerdekaan rakyatku
bukan suatu keputusan tiba-tiba. Akulah ahli-warisnya.” Ir. Soekarno
menuturkan kepada penulis otobiografinya, Cindy Adam. Putra sang fajar
yang lahir di Blitar, 6 Juni 1901 dari pasangan Raden Soekemi dan Ida
Ayu Nyoman Rai, diberi nama kecil, Koesno. Ir. Soekarno, 44 tahun
kemudian, menguak fajar kemerdekaan Indonesia setelah lebih dari tiga
setengah abad ditindas oleh penjajah-penjajah asing.
Soekarno hidup jauh dari orang tuanya di
Blitar sejak duduk di bangku sekolah rakyat, indekos di Surabaya sampai
tamat HBS (Hoogere Burger School). Ia tinggal di rumah Haji Oemar Said
Tjokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Jiwa
nasionalismenya membara lantaran sering menguping diskusi-diskusi
politik di rumah induk semangnya yang kemudian menjadi ayah mertuanya
dengan menikahi Siti Oetari (1921).
Soekarno pindah ke Bandung, melanjutkan
pendidikan tinggi di THS (Technische Hooge-School), Sekolah Teknik
Tinggi yang kemudian hari menjadi ITB, meraih gelar insinyur, 25 Mei
1926. Semasa kuliah di Bandung, Soekarno, menemukan jodoh yang lain,
menikah dengan Inggit Ganarsih (1923).
Soekarno muda, lebih akrab dipanggil Bung
Karno mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia), 4 Juni 1927.
Tujuannya, mendirikan negara Indonesia Merdeka. Akibatnya, Bung Karno
ditangkap, diadili dan dijatuhi hukuman penjara oleh pemerintah Hindia
Belanda. Ia dijeboloskan ke penjara Sukamiskin, Bandung, 29 Desember
1949.
Di dalam pidato pembelaannya yang berjudul, Indonesia Menggugat, Bung Karno berapi-api menelanjangi kebobrokan penjajah Belanda.
Bebas tahun 1931, Bung Karno kemudian
memimpin Partindo. Tahun 1933, Belanda menangkapnya kembali, dibuang ke
Ende, Flores. Dari Ende, dibuang ke Bengkulu selama empat tahun. Di
sanalah ia menikahi Fatwamati (1943) yang memberinya lima orang anak;
Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rahmawati, Sukmawati dan
Guruh Soekarnoputri.
Soekarno adalah seorang cendekiawan yang
meninggalkan ratusan karya tulis dan beberapa naskah drama yang mungkin
hanya pernah dipentaskan di Ende, Flores. Kumpulan tulisannya sudah
diterbitkan dengan judul Dibawah Bendera Revolusi, dua jilid. Dari buku
setebal kira-kira 630 halaman tersebut, tulisan pertamanya (1926),
berjudul, Nasionalisme, Islamisme, dan Marxism, bagian paling menarik
untuk memahami gelora muda Bung Karno.
Tahun 1942, tentara pendudukan Belanda di
Indonesia menyerah pada Jepang. Penindasan yang dilakukan tentara
pendudukan selama tiga tahun jauh lebih kejam. Di balik itu, Jepang
sendiri sudah mengimingi kemerdekaan bagi Indonesia. Penyerahan diri
Jepang setelah dua kota utamanya, Nagasaki dan Hiroshima, dibom atom
oleh tentara Sekutu, tanggal 6 Agustus 1945, membuka cakrawala baru bagi
para pejuang Indonesia. Mereka, tidak perlu menunggu, tetapi merebut
kemerdekaan dari Jepang.
Setelah persiapan yang cukup panjang,
dipimpin oleh Ir. Soekarno dan Drs Muhammad Hatta, mereka
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945, di Jalan
Pegangsaan Timur No. 52 (sekarang Jln. Proklamasi), Jakarta.
Bung Karno sebagai Guru Bangsa
Di antara banyak predikat yang telah
diberikan kepada Bung Karno, patutlah kiranya pada peringatan ulang
tahunnya yang ke-102 ini ia juga dikenang sebagai guru bangsa. Sebagai
pencetus maupun komunikator, banyak pemikiran penting telah menjadi
sumbangan pendidikan tak terhingga bagi negara-bangsa ini.
Layaknya seorang guru yang cakap, ia
mampu menyampaikan gagasan-gagasan penting dengan lancar, penuh
imajinasi, dan komunikatif. Di tangannya, topik-topik bahasan yang
sebenarnya berat menjadi gampang dicerna, mudah dipahami masyarakat
luas.
Ingat, misalnya, saat secara berkala pada
tahun 1958-1959 ia memberikan rangkaian “kuliah” guna menjelaskan
kembali sila demi sila dari Pancasila sebagai dasar negara,
masing-masing satu sila setiap kesempatan “tatap muka.” Pada 26 Mei 1958
ia memulai rangkaian itu dengan memberi kuliah tentang pengertian umum
Pancasila. Setelah menyampaikan penjelasan tentang berbagai bentuk
kapitalisme dan perlawanan terhadapnya, ia menekankan bahwa Pancasila
bukan hanya merupakan pandangan hidup, melainkan juga alat pemersatu
bangsa.
Kuliah pembukaan itu disusul
kuliah-kuliah serupa lain yang biasanya diadakan di Istana Negara dan
disiarkan langsung melalui radio ke seluruh penjuru Tanah Air. Berbeda
dengan pidato-pidato Bung Karno di depan massa yang biasanya berapi-api
membakar semangat rakyat, kuliah-kuliah ini berjalan lebih rileks dan
komunikatif.
Dengan kuliah-kuliah itu tampaknya Bung
Karno ingin sekaligus mengingatkan, Istana Negara bukan tempat sangar
atau sakral yang hanya boleh dimasuki presiden dan pejabat maha penting
negeri ini, tetapi Istana milik rakyat, tempat masyarakat belajar
mengenai banyak hal, termasuk dasar negara. Ia ingin menjadikan Istana
(dan mungkin Indonesia umumnya) sebagai “ruang kuliah” di mana
terselenggara proses belajar-mengajar antara masyarakat dan pemimpinnya.
Teori dan praksis
Dari teori-teori filsafat dan politik
serta acuan-acuan historis yang digunakan dalam mengurai sila-sila
Pancasila, tampak pengetahuan Soekarno amat luas dan dalam. Dalam
uraian-uraiannya, tidak jarang ia menyitir pikiran Renan, Confusius,
Gandhi, atau Marx. Dengan begitu, ia seolah ingin menunjukkan dan
memberi contoh, tiap warga negara perlu terus memperluas pengetahuannya.
Meski ia sendiri sebenarnya dididik sebagai orang teknik, namun amat
akrab dengan ilmu-ilmu sosial, terutama filsafat, sejarah, politik, dan
agama.
Dalam salah satu kuliahnya Bung Karno
menyinggung kembali pertemuan dan dialognya dengan petani miskin
Marhaen. Dialog sendiri sudah berlangsung jauh sebelumnya, tetapi ia
masih mampu mengingat dan menggambarkan amat jelas. Ini menandakan,
Soekarno menaruh perhatian pada perjumpaannya dengan wong cilik, rakyat
jelata, dan ingin menjadikannya sebagai titik tolak perjuangan bersama
guna membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu kemiskinan dan
ketidakadilan. Baginya retorika memperjuangkan rakyat yang tidak
disertai perjumpaan-perjumpaan langsung dengan rakyat adalah omong
kosong.
Dengan kata lain, sebagai guru bangsa ia
tak suka hanya berkutat di dunia teori, tetapi juga menceburkan diri ke
realitas kehidupan sehari-hari bangsanya. Bung Karno selalu berupaya
keras mempertemukan “buku” dengan “bumi,” menatapkan teori-teori
sosial-politik dengan realitas keseharian manusia Indonesia yang sedang
ia perjuangkan.
Bung Karno terus mempererat kaitan teori
dan praksis, refleksi dan aksi. Mungkin inilah salah satu faktor yang
membedakannya dari pemimpin lain, baik yang sezamannya maupun
sesudahnya.
Perlu diingat, lepas dari apakah orang
setuju atau tidak dengan uraian dan gagasannya, satu hal tak dapat
diragukan tentang Soekarno: ia bukan seorang pejabat yang korup. Sulit
dibayangkan, Soekarno suka menduduki posisi-posisi tertentu di
pemerintahan karena ingin mencuri uang rakyat atau menumpuk kekayaan
untuk diri sendiri.
Perjuangan Soekarno adalah perjuangan
tulus, yang disegani bahkan oleh orang-orang yang tak sepaham dengannya.
Karena itu, tak mengherankan betapapun ruwetnya ekonomi Indonesia di
bawah pemerintahaannya, tak terlihat kecenderungan pejabat-pejabat
pemerintah di zaman itu yang tanpa malu korupsi atau berkongkalikong
menjual sumber-sumber alam milik rakyat.
Absennya guru-guru lain
Bagaimanapun juga, sebagai seorang
manusia Bung Karno bukan tanpa kelemahan. Dalam kapasitasnya sebagai
pejabat negara, misalnya, ia tampak “menikmati” posisinya sehingga ada
kesan ia tak lagi menempatkan diri sebagai seorang pelayan publik dalam
tata masyarakat demokratis. Sebagai presiden seharusnya ia menyadari
kedudukannya sebagai seseorang yang menjabat sejauh rakyat memberi
mandat padanya, itu pun disertai batasan masa jabatan tertentu.
Rupanya Bung Karno tidak terlalu
menghiraukan hal itu. Karenanya ketika tahun 1963 diangkat sebagai
presiden seumur hidup, ia tidak menolak.
Sebagai seorang guru yang memandang
negerinya sebagai sebuah “ruang kuliah” raksasa dan rekan-rekan
sebangsanya sebagai “murid-murid” yang patuh, terkesan Bung Karno tak
memerlukan adanya “guru-guru” lain. Ia tak keberatan akan keberadaan
mereka, tetapi-sadar atau tidak-”gaya mengajar”-nya mendorong
tokoh-tokoh lain yang potensial untuk juga menjadi guru bangsa terpaksa
menyingkir atau tersingkir.
Kita belum lupa ketika pada 1 Desember
1956 Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden. Kita juga
masih ingat bagaimana orang-orang dekat Bung Karno-seperti Sjahrir,
Amir Syarifuddin, Tan Malaka, Moh Natsir, dan lainnya-satu per satu
menjauh darinya.
Pada pertengahan 1950-an rupanya
perhatian Bung Karno yang begitu besar kepada posisinya sendiri
membuatnya kurang menyadari bahwa dampak Perang Dingin telah kian jauh
merasuki Indonesia. Kemenangan PKI dalam Pemilu 1955 dan pemilu daerah
tahun 1957, misalnya, telah benar-benar mempengaruhi perhatian dan
kebijakan para pelaku utama Perang Dingin terhadap Indonesia.
Di satu pihak, Cina dan Uni Soviet
menyambut kemenangan itu dengan gembira karena menandakan kian meluasnya
komunisme di Indonesia. Di lain pihak, bagi AS dan sekutunya,
kemenangan itu meningkatkan ketakutan mereka bahwa Indonesia akan
“lepas” dari lingkaran pengaruh Barat. Dalam pola pikiran teori domino,
lepasnya Indonesia akan berarti terancamnya kepentingan-kepentingan
Barat di Asia Tenggara.
Sedikit demi sedikit panggung ketegangan
pun dibangun. Tahun 1965-1966 panggung itu dijadikan arena pertarungan
berdarah antara PKI dan unsur-unsur bersenjata yang didukung Barat. Bung
Karno sadar, tetapi terlambat. Dengan gemetar ia terpaksa menyaksikan
ratusan ribu rakyat yang ia cintai dibantai secara terencana dan brutal.
Sedikit demi sedikit ia dijepit. Akhirnya
guru bangsa yang besar ini disingkirkan dari panggung kekuasaan. Ia pun
wafat sebagai seorang tahanan politik yang miskin, di negeri yang
kemerdekaannya dengan gigih ia perjuangkan.
Akhir hidup Bung Karno memang memilukan.
Tetapi ajaran-ajarannya sebagai guru bangsa tetap relevan dan penting
untuk negara-bangsa ini. Orang dapat belajar tidak hanya dari apa yang
dikatakan, tetapi juga dari tindakan, berikut keunggulan dan
kelemahannya. Kita berharap kaum muda negeri ini tak jemu untuk terus
belajar dari sejarah, termasuk dari Bung Karno sebagai guru bangsa.
(Baskara T Wardaya)
Berdiri di Atas Kaki Sendiri
Soekarno (Bung Karno) Presiden Pertama
Republik Indonesia, 1945- 1966, menganut ideologi pembangunan ‘berdiri
di atas kaki sendiri’. Proklamator yang lahir di Blitar, Jatim, 6 Juni
1901 ini dengan gagah mengejek Amerika Serikat dan negara kapitalis
lainnya: “Go to hell with your aid.” Persetan dengan bantuanmu.
Ia mengajak negara-nega-ra sedang
berkembang (baru merdeka) bersatu. Pemimpin Besar Revolusi ini juga
berhasil mengge-lorakan semangat revolusi bagi bangsanya, serta menjaga
keutuhan NKRI.
Tokoh pencinta seni ini memiliki slogan
yang kuat menggantungkan cita-cita setinggi bintang untuk membawa
rakyatnya menuju kehidupan sejahtera, adil makmur. Ideologi pembangunan
yang dianut pria yang berasal dari keturunan bangsawan Jawa (Ayahnya
bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo, suku Jawa dan ibunya bernama Ida
Ayu Nyoman Rai, suku Bali), ini bila dilihat dari buku Pioneers in
Development, kira-kira condong menganut ideologi pembangunan yang
dilahirkan kaum ekonom yang tak mengenal kamus bahwa membangun suatu
negeri harus mengemis kepada Barat. Tapi bagi mereka, haram hukumnya
meminta-minta bantuan asing. Bersentuhan dengan negara Barat yang kaya,
apalagi sampai meminta bantuan, justru mencelakakan si melarat (negara
miskin).
Bagi Bung Karno, yang ketika kecil
bernama Kusno, ini tampaknya tak ada kisah manis bagi negara-negara
miskin yang membangun dengan modal dan bantuan asing. Semua tetek bengek
manajemen pembangunan yang diperbantukan dan arus teknologi modern yang
dialihkan — agar si miskin jadi kaya dan mengejar Barat — hanyalah alat
pengisap kekayaan si miskin yang membuatnya makin terbelakang.
Itulah Bung Karno yang berhasil
menggelorakan semangat revolusi dan mengajak berdiri di atas kaki
sendiri bagi bangsanya, walaupun belum sempat berhasil membawa rakyatnya
dalam kehidupan yang sejahtera. Konsep “berdiri di atas kaki sendiri”
memang belum sampai ke tujuan tetapi setidaknya berhasil memberikan
kebanggaan pada eksistensi bangsa. Daripada berdiri di atas utang luar
negeri yang terbukti menghadirkan ketergantungan dan ketidakberdayaan
(noekolonialisme).
Masa kecil Bung Karno sudah diisi
semangat kemandirian. Ia hanya beberapa tahun hidup bersama orang tua di
Blitar. Semasa SD hingga tamat, ia tinggal di Surabaya, indekos di
rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat
Islam. Kemudian melanjut di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di
HBS itu ia pun telah menggembleng jiwa nasio-nalismenya. Selepas lulus
HBS tahun 1920, ia pindah ke Bandung dan me-lanjutkan ke THS (Technische
Hooge-school atau Sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia
berhasil meraih gelar “Ir” pada 25 Mei 1926.
Kemudian, ia merumuskan ajaran
Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli
1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, si penjajah,
menjebloskannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929.
Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul
‘Indonesia Menggugat’, dengan gagah berani ia menelanjangi kebobrokan
Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.
Pembelaannya itu membuat Belanda makin
marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas
(1931), Bung Karno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya.
Akibatnya, ia kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores,
tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Setelah melalui perjuangan yang cukup
panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada
17 Agustus 1945. Sebelumnya, ia juga berhasil merumuskan Pancasila yang
kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia
berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan ia berusaha menghimpun
bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia
Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non
Blok.
Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan
krisis politik sangat hebat. Ia pun tak mau membubarkan PKI yang dituduh
oleh mahasiswa dan TNI sebagai dalang kekejaman pembunuh para jenderal
itu. Suasana politik makin kacau. Sehingga pada 11 Maret 1966 ia
mengeluarkan surat perintah kepada Soeharto untuk mengendalikan situasi,
yang kemudian dikenal dengan sebutan Supersemar. Tapi, inilah awal
kejatuh-annya. Sebab Soeharto menggunakan Supersemar itu membubarkan PKI
dan merebut simpati para politisi dan mahasiswa serta ‘merebut’
kekuasaan. MPR mengukuhkan Supersemar itu dan menolak pertanggungjawaban
Soekarno serta mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden.
Kemudian Bung Karno ‘dipenjarakan’ di
Wisma Yaso, Jakarta. Kesehatannya terus memburuk. Akhirnya, pada hari
Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di
Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jawa Timur di dekat makam
ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Paduka Yang Mulia Pemimpin Besar Revolusi
ini meninggalkan 8 orang anak. Dari Fatmawati mendapatkan lima anak
yaitu Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh. Dari Hartini
mendapat dua anak yaitu Taufan dan Bayu. Sedangkan dari Ratna Sari Dewi,
wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mendapatkan seorang
putri yaitu Kartika.
Orator Ulung
Presiden pertama RI itu pun dikenal sebagai orator yang ulung, yang dapat berpidato secara amat berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialis-me dan imperialisme. Ia juga amat percaya pada kekuatan massa, kekuatan rakyat.
Presiden pertama RI itu pun dikenal sebagai orator yang ulung, yang dapat berpidato secara amat berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialis-me dan imperialisme. Ia juga amat percaya pada kekuatan massa, kekuatan rakyat.
“Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat,” kata Bung Karno, dalam karyanya ‘Menggali Api Pancasila’. Suatu ungkapan yang cukup jujur dari seorang orator besar.
Gejala berbahasa Bung Karno merupakan
fenomena langka yang mengundang kagum banyak orang. Kemahirannya
menggunakan bahasa dengan segala macam gayanya berhubungan dengan
kepribadiannya. Hal ini tercermin dalam autobiografi, karangan-karangan
dan buku-buku sejarah yang memuat sepak terjangnya.
Ia adalah seorang cen-dekiawan yang
meninggal-kan ratusan karya tulis dan beberapa naskah dra-ma yang
mungkin hanya pernah dipentaskan di Ende, Flores. Kumpulan tulisannya
sudah diterbit-kan dengan judul “Diba-wah Bendera Revolusi”, dua jilid.
Jilid pertama boleh dikatakan paling menarik dan paling penting karena
mewakili diri Soekarno sebagai Soekarno.
Dari buku setebal kira-kira 630 halaman
tersebut tulisan pertama yang bermula dari tahun 1926, dengan judul
“Nasionalis-me, Islamisme, dan Marxisme” adalah paling menarik dan
mungkin paling penting sebagai titik-tolak dalam upaya memahami Soekarno
dalam gelora masa mudanya, seorang pemuda berumur 26 tahun.
Di tengah kebesarannya, sang orator ulung
dan penulis piawai, ini selalu membutuhkan dukungan orang lain. Ia tak
tahan kesepian dan tak suka tempat tertutup.
Di akhir masa kekuasaannya, ia sering
merasa kesepian. Dalam autobio-grafinya yang disusun oleh Cindy Adams,
Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat itu, bercerita. “Aku tak tidur
selama enam tahun. Aku tak dapat tidur barang sekejap. Kadang-kadang, di
larut malam, aku menelepon seseorang yang dekat denganku seperti
misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku, ‘Bandrio
datanglah ke tempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang
ganjil, ceritakanlah suatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal
jangan mengenai politik. Dan kalau saya tertidur, maafkanlah…. Untuk
pertama kali dalam hidupku aku mulai makan obat tidur. Aku lelah.
Terlalu lelah.”
Dalam bagian lain disebutkan, “Ditinjau
secara keseluruhan maka jabatan presiden tak ubahnya seperti suatu
pengasingan yang terpencil… Seringkali pikiran oranglah yang
berubah-ubah, bukan pikiranmu… Mereka turut menciptakan pulau kesepian
ini di sekelilingmu.”
Anti Imperialisme
Pada 17 Mei 1956. Bung Karno mendapat kehormatan menyampaikan pidato di depan Kongres Amerika Serikat. Sebagaimana dilaporkan New York Times (halaman pertama) pada hari berikutnya, dalam pidato itu dengan gigih ia menyerang kolonialisme.
Pada 17 Mei 1956. Bung Karno mendapat kehormatan menyampaikan pidato di depan Kongres Amerika Serikat. Sebagaimana dilaporkan New York Times (halaman pertama) pada hari berikutnya, dalam pidato itu dengan gigih ia menyerang kolonialisme.
“Perjuangan dan pengorbanan yang telah
kami lakukan demi pembebasan rakyat kami dari belenggu kolonialisme,
telah berlangsung dari generasi ke generasi selama berabad-abad. Tetapi,
perjuangan itu masih belum selesai. Bagaimana perjuangan itu bisa
dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih berada
di bawah dominasi kolonial, masih belum bisa menikmati kemerdekaan?”
pekik Soekarno ketika itu.
Hebatnya, meskipun pidato itu dengan
keras menentang kolonialisme dan imperialisme, serta cukup kritis
terhadap negara-negara Barat, ia mendapat sambutan luar biasa di Amerika
Serikat (AS).
Pidato itu menunjukkan konsistensi
pemikiran dan sikap-sikap Bung Karno yang sejak masa mudanya
antikolonialisme. Terutama pada periode 1926-1933, semangat
antikolonialisme dan anti-imperialisme itu sudah jelas dikedepankannya.
Sangat jelas dan tegas ingatan kolektif
dari pahitnya kolonialisme yang dilakukan negara asing yang kaya itu.
Namun, kata dan fakta adalah dua hal yang berbeda, dan tak jarang saling
bertolak belakang.
Soekarno dan para penggagas nasionalisme
lainnya dipaksa bergulat di antara “kata” dan “fakta” politik yang
dicoba dirajut namun ternyata tidak mudah, dan tak jarang menemui jalan
buntu.
Soekarno yang rajin berkata-kata, antara
lain mengenai gagasan besarnya menyatukan kaum nasionalis, agama dan
komunis (1926) menemukan kenyataan yang sama sekali bertolak belakang,
ketika ia mencobanya menjadi fakta. Begitu pula gagasan besarnya yang
lain: marhaenisme, atau nasionalisme marhaenistis, yang matang
dikonsepsikan pada tahun 1932. Bahkan, gagasannya mengenai Pancasila.
Tokoh Kontroversial
Sebagai sosok yang memiliki prinsip tegas, Bung Karno kerap dianggap sebagai tokoh kontroversial. Maka tak heran jika dia memiliki lawan maupun kawan yang berani secara terang-terangan mengritik maupun membela pandangannya. Di mata lawan-lawan politiknya di Tanah Air, ia dianggap mewakili sosok politisi kaum abangan yang “kurang islami”. Mereka bahkan menggolongkannya sebagai gembong kelompok “nasionalis sekuler”.
Sebagai sosok yang memiliki prinsip tegas, Bung Karno kerap dianggap sebagai tokoh kontroversial. Maka tak heran jika dia memiliki lawan maupun kawan yang berani secara terang-terangan mengritik maupun membela pandangannya. Di mata lawan-lawan politiknya di Tanah Air, ia dianggap mewakili sosok politisi kaum abangan yang “kurang islami”. Mereka bahkan menggolongkannya sebagai gembong kelompok “nasionalis sekuler”.
Akan tetapi, di mata Syeikh Mahmud
Syaltut dari Cairo, penggali Pancasila itu adalah Qaida adzima min
quwada harkat al-harir fii al-balad al-Islam (Pemimpin besar dari
gerakan kemerdekaan di negeri-negeri Islam). Malahan, Demokrasi
Terpimpin, yang di dalam negeri diperdebatkan, justru dipuji oleh syeikh
al-Azhar itu sebagai, “lam yakun ila shuratu min shara asy syuraa’ allatiy ja’alha al-Qur’an sya’ana min syu’un al-mu’minin” (tidak lain hanyalah salah satu gambaran dari permusyawaratan yang dijadikan oleh Al Quran sebagai dasar bagi kaum beriman).
Tatkala memuncak ketegangan antara Israel
dan negara-negara Arab soal status Palestina ketika itu, pers
sensasional Arab menyambut Bung Karno, “Juara untuk
kepentingan-kepentingan Arab telah tiba”. Begitu pula, Tahta Suci
Vatikan memberikan tiga gelar penghargaan kepada presiden dari Republik
yang mayoritas Muslim itu.
Memang, pembelaan Bung Karno terhadap
kaum tertindas tidak hanya untuk negerinya namun juga negeri lain.
Itulah sebabnya, mengapa ia dipuja habis oleh bangsa Arab yang tengah
menghadapi serangan Israel kala itu. Bung Karno dianggap sebagai
pemimpin kaum Muslim. Padahal, di dalam negeri sendiri ia kerap
dipandang lebih sebagai kaum abangan daripada kaum santri.
Sebenarnya, seberapa religiuskah Bung
Karno? Bukankah ia juga dalam konsepsi Pancasila merumuskan sila
Ketuhanan Yang Maha Esa? Sila yang menunjukkan bahwa bangsa Indonesia
adalah bangsa yang religius. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk
dan mengakui lima agama. Bagaimana mungkin merangkum visi lima agama
itu dalam satu kalimat yang mendasar itu kalau si pembuat kalimat tidak
memahami konteks kehidupan beragama di Indonesia secara benar?
Dalam hal ini elok dikutip pendapat
Clifford Geertz Islam Observed (1982): “Gaya religius Soekarno adalah
gaya Soekarno sendiri.” Betapa tidak? Kepada Louise Fischer, Bung Karno
pernah mengaku bahwa ia sekaligus Muslim, Kristen, dan Hindu. Di mata
pengamat seperti Geertz, pengakuan semacam itu dianggap sebagai “bergaya
ekspansif seolah-olah hendak merangkul seluruh dunia”. Sebaliknya,
ungkapan semacam itu-pada hemat BJ Boland dalam The Struggle of Islam in
Modern Indonesia (1982)- “hanya merupakan perwujudan dari perasaan
keagamaan sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya Jawa”. Bagi
penghayatan spiritual Timur, ucapan itu justru “merupakan keberanian
untuk menyuarakan berbagai pemikiran yang mungkin bisa dituduh para
agamawan formalis sebagai bidah”.
Sistem Politik
Soekarno memiliki pandangan mengenai sistem politik yang didukungnya adalah yang paling “cocok” dengan “kepribadian” dan “budaya” khas bangsa Indonesia yang konon mementingkan kerja sama, gotong-royong, dan keselarasan. Dalam retorika, ia mengecam “individualisme” yang katanya lahir dari liberalisme Barat. Individualisme itu melahirkan egoisme, dan ini terutama dicerminkan oleh pertarungan antarpartai.
Soekarno memiliki pandangan mengenai sistem politik yang didukungnya adalah yang paling “cocok” dengan “kepribadian” dan “budaya” khas bangsa Indonesia yang konon mementingkan kerja sama, gotong-royong, dan keselarasan. Dalam retorika, ia mengecam “individualisme” yang katanya lahir dari liberalisme Barat. Individualisme itu melahirkan egoisme, dan ini terutama dicerminkan oleh pertarungan antarpartai.
Lalu ia mencetuskan Demokrasi Terpimpin.
Dalam berpolitik Soekarno mementingkan politik mobilisasi massa, ia
bersimpati pada gerakan-gerakan anti-imperialisme, dan mungkin sebagai
salah satu konsekuensinya, penerimaannya pada Partai Komunis Indonesia
(PKI) sebagai aktor politik yang sah, pendukung konsepsi demokrasi
terpimpin. Jadi ia mencanangkan sistem politik yang berwatak
anti-liberal dan curiga pada pluralisme politik. Ia mementingkan
“persatuan” demi “revolusi”.
Pada tahun 1950-an, Indonesia memang
ditandai oleh ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh sistem
demokrasi parlementer. Sistem ini bersifat sangat liberal, dan
didominasi oleh partai-partai politik yang menguasai parlemen. Pemilu
1955-yang dimenangkan empat kekuatan besar, Masyumi, Partai Nasional
Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU) serta PKI- hingga kini masih
dianggap sebagai pemilu paling bebas dan bersih yang pernah dilaksanakan
sepanjang sejarah Indonesia. Namun, di sisi lain dari sistem parlemen
yang dikuasai partai itu adalah sering jatuh bangunnya kabinet yang
dipimpin oleh perdana menteri. Selain itu, sejarah juga mencatat bahwa
integritas nasional terus-menerus diancam oleh berbagai gerakan
separatis, yakni DI/TI, PRRI/Permesta, dan sebagainya.
Kenyataan ini membuat Soekarno makin
curiga pada partai politik karena dia menganggap Masyumi, dan juga PSI,
terlibat dalam beberapa pemberontakan daerah.
Kemudian, Soekarno mendekritkan kembalinya Indonesia pada UUD 1945 karena kegagalan Konstituante untuk memutuskan UUD baru untuk Indonesia, akibat perdebatan berlarut-larut, terutama antara kekuatan nasionalis sekuler dan kekuatan Islam mengenai dasar negara.
Kemudian, Soekarno mendekritkan kembalinya Indonesia pada UUD 1945 karena kegagalan Konstituante untuk memutuskan UUD baru untuk Indonesia, akibat perdebatan berlarut-larut, terutama antara kekuatan nasionalis sekuler dan kekuatan Islam mengenai dasar negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar